berikan contoh kesadaran gender dalam lingkungan sekolah

Transformasikegiatan pendidikan yang membuat anak didik sadar atas perannya sebagai makhluk sosial, dimulai dengan mengasah kepekaan sosial mereka sejak dini. Anak didik perlu menumbuhkan kepekaannya pada isu-isu politik, ekonomi, kesehatan, pendidikan, lingkungan, dan lainnya yang memengaruhi bukan hanya kehidupan pribadi, melainkan juga Pendidikankesehatan sangat diperlukan pada tahap ini dan sekolah merupakan sarana yang baik bagi pendidikan kesehatan serta merupakan perpanjangan tangan pendidikan kesehatan bagi keluarga. Oleh karena itu lingkungan sekolah, baik lingkungan fisik atau lingkungan sosial yang sehat, akan sangat mempengaruhi terhadap perilaku sehat seseorang Vay Tiền Trả Góp Theo Tháng Chỉ Cần Cmnd. Hai, Sobat Guru Penyemangat, dapatkah kamu menyebutkan contoh-contoh keberagaman yang ada di lingkungan sekolahmu?Sungguh ada banyak sekali keberagaman di sekolah, diketahui bahwa keberagaman adalah kondisi dalam masyarakat maupun sekolah yang di dalamnya terdapat perbedaan dalam berbagai umum, perbedaan yang menyebabkan keberagaman bisa dilihat dari suku, agama, ras dan secara khusus, akan menyajikan contohnya secara lebih ada segenap contoh keberagaman di lingkungan sekolah yang perlu kita ketahui lengkap dengan cara mari kita simak yaContoh Keberagaman di Lingkungan Sekolah1. Keberagaman Jenis KelaminKeberagaman pertama yang nyaris ada di seluruh jenjang sekolah ialah perbedaan jenis kelamin dan gender. Ada siswa perempuan, ada pula siswa laki-laki. Ada guru perempuan dan ada pula guru itu, jumlahnya pun sering kali tidaklah bisa ditebak. Terkadang siswa laki-laki lebih dominan daripada perempuan, dan kadang pula Keberagaman GenderSelain jenis kelamin, masing-masing siswa di lingkungan sekolah memiliki perbedaan gender yang menjadi adalah karakteristik yang terikat pada diri seseorang sekaligus menentukan perannya di lingkungan siswa perempuan di sekolah identik dengan kegiatan bersih-bersih dan menjaga siswa laki-laki memiliki peran sebagai seorang pemimpin atau mengurusi hal-hal yang membutuhkan Keberagaman AgamaIndonesia adalah negara yang berlandaskan Pancasila karena para penduduknya menganut agama yang Islam, Hindu, Budha, Kristen, Katolik, hingga lingkungan sekolah pula demikian. Sering kita temukan siswa maupun guru yang menganut agama berbeda dengan kita. Sejatinya itu bukan perbedaan melainkan contoh Keberagaman SukuMenurut data Badan Pusat Statistik BPS tahun 2010, Indonesia memiliki total suku bangsa yang tersebar di berbagai penjuru Bumi sekolah pun demikian. Ada beberapa dari teman kita yang berasal dari Suku Jawa, Suku Rejang, Suku Padang, Suku Serawai, dan lain sebagainya. Itu adalah bentuk keberagaman Keberagaman RasTahukah Sobat Guru Penyemangat bahwa di lingkungan sekolah juga ada keberagaman ras? Contohnya ialah ras Malayan-Mongoloid yang tersebar di daerah Sumatra, Jawa, Bali, NTB, Kalimantan hingga ya, ada pula ras Melanesoid yang tersebar di Papua, Maluku, hingga Keberagaman GolonganNah, dibandingkan dengan 5 contoh keberagaman di atas, keberagaman golongan menjadi hal yang cukup lingkungan sekolah, keberagaman golongan mencakup perbedaan dari segi usia, dari segi ekonomi, hingga mata pencaharian Keberagaman Adat Istiadat dan BudayaBerbeda daerah, maka berbeda pula adat istiadat dan budaya yang menjadi ciri khasnya. Tidak terkecuali di satu kelas biasanya terdiri atas 10-30 siswa yang masing-masing darinya memiliki adat istiadat dan budaya yang keberagaman budaya yang paling simpel dan bisa kita temukan di sekolah misalnya memakai baju batik, cara bersalaman, dan lain Keragaman BahasaSudah tidak bisa dimungkiri bahwa perbedaan suku akan mengakibatkan terjadinya keragaman bukan hanya untuk satu sekolah, setiap kelas pun bisa saja diisi oleh banyak siswa yang berbeda kita beruntung, karena sebagai negara Bhinneka Tunggal Ika, kita semua bisa disatukan dengan Bahasa Keberagaman Wilayah Secara GeografisTidak hanya secara umum, secara khusus di lingkungan sekolah juga kaya akan siswa yang berasal dari beragam wilayah secara siswa yang wilayahnya lebih dekat dengan bukit, ada siswa yang tinggal di daerah perkotaan, dan ada pula siswa yang tinggal di pedesaan. Itu adalah contoh keberagaman yang harus kita Menyikapi Keberagaman di SekolahHai, Sobat Guru Penyemangat, kira-kira, bagaimana cara menyikapi keberagaman yang ada di lingkungan sekolahmu?Untuk menyikapi dan memaklumi keberagaman di sekolah, sikap pertama yang perlu sama-sama kita tinggikan ialah Baca Begini Upaya untuk Mengatasi Masalah Keberagaman yang Terjadi di SekolahmuSecara khusus, cara menyikapi keberagaman di sekolah bisa dijabarkan sebagai berikut1. Cara Menyikapi Keberagaman Jenis Kelamin dan GenderPembagian tugas secara adil ialah salah satu cara terbaik dalam menyikapi keberagaman jenis kelamin dan adil? Misalnya membuat jadwal piket, bermusyawarah dalam memilih ketua kelas maupun ketua OSIS, hingga tidak membeda-bedakan teman dari bentuk rupa, fisik, dan jenis Cara Menyikapi Keberagaman Agama dan KeyakinanSebagai seorang siswa maupun guru, kita perlu memaklumi bahwa perbedaan agama menimbulkan perbedaan cara beribadah. Pun demikian dengan tempat menyikapi perbedaan agama di sekolah utamanya ialah dengan meningkatkan rasa toleransi tidak menghina agama lain, hingga mempersilakan mereka untuk beribadah sesuai dengan Cara Menyikapi Keberagaman Suku, Ras, dan WilayahPerbedaan asal suku, ras, hingga tempat tinggal tidak jarang menimbulkan masalah. Di lingkungan sekolah pun suku, maka berbeda pula logat dan bahasanya. Dan, tidak dimungkiri bahwa perbedaan ras akan menghasilkan beragamnya warna bijak untuk menyikapi perbedaaan tersebut di sekolah ialah menggunakan bahasa yang bisa dipahami semua suku, tidak membeda-bedakan teman berdasarkan ras, serta tidak mengejek perbedaan warna kulit, rupa, dan logat Cara Menyikapi Keberagaman Golongan, Adat Istiadat, dan BudayaDibandingkan dengan adat istiadat dan budaya, sebenarnya keberagaman golongan yang lebih sering menimbulkan sekolah, masalah yang mungkin dan bisa saja terjadi misalnya ada siswa kaya yang tidak mau berteman dengan siswa miskin, dan ada pula siswa yang mengolok-olok mata pencaharian orang tua siswa tidak disikapi dengan bijak, hal tersebut akan menghasilkan masalah yang demikian, cara menyikapi keberagaman golongan ialah; sebaiknya setiap siswa mau menerima teman apa adanya karena semua manusia itu tidak dibedakan antara miskin dan kaya.***Nah, demikianlah tadi seutas ulasan Guru Penyemangat mengenai ragam contoh keberagaman di lingkungan sekolah lengkap dengan cara bermanfaat, This page in Indonesia telah membuat kemajuan besar dalam mencapai kesetaraan gender selama satu dekade terakhir. Hal ini bisa dilihat dari meningkatnya tingkat literasi, angka partisipasi sekolah, dan ketenagakerjaan, serta kebijakan untuk mendorong terwujudnya masyarakat yang berkeadilan gender. Pada tahun 1970-an, Gender Parity Index GPI untuk angka partisipasi sekolah rasio anak perempuan terhadap anak laki-laki yang terdaftar di sekolah pada anak-anak usia 7-12 tahun adalah 0,89. Ini menunjukkan perbedaan signifikan yang memihak kepada anak laki-laki. Kesenjangan ini tampak lebih lebar seiring bertambahnya umur anak-anak. Namun, pada tahun 2019 Indonesia telah mencapai kesetaraan gender dalam hal partisipasi sekolah di tingkat nasional, dengan GPI 1,00 untuk angka partisipasi sekolah pada anak-anak usia 7-12 tahun. Sebuah studi yang dilakukan oleh Bank Dunia baru-baru ini, dengan dukungan dari Pemerintah Australia, terkait gender dalam pendidikan, menemukan bahwa meskipun rata-rata nasional telah mengalami peningkatan, berbagai perbedaan signifikan terjadi di tingkat daerah, baik yang memihak pada anak laki-laki maupun perempuan. Temuan dan Poin-poin Utama Partisipasi sekolah Baik anak laki-laki maupun perempuan mengalami ketertinggalan di berbagai daerah. Sebagai contoh, di Kabupaten Sukamara, Kalimantan Tengah, hanya 61 persen anak laki-laki usia 16 sampai 18 tahun yang bersekolah, sedangkan persentase anak perempuan yang bersekolah adalah 95. Namun, di daerah lain anak perempuan juga mengalami ketertinggalan. Misalnya, di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, persentase anak laki-laki yang bersekolah sekitar satu setengah kali lebih banyak daripada persentase anak perempuan. Gender Parity Index berdasarkan Angka Partisipasi Sekolah usia 16-18 tahun di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur Sumber Diolah dari Susenas 2018. Perbedaan status sosial ekonomi dan faktor geografis tampaknya berperan penting dalam menentukan apakah siswa dapat menyelesaikan sekolah mereka. Remaja usia sekolah menengah pertama dari rumah tangga termiskin menghadapi kemungkinan empat kali lebih besar untuk putus sekolah dibandingkan dengan remaja yang berasal dari rumah tangga terkaya. Kondisi terkait ekonomi terlihat menjadi alasan utama untuk putus sekolah. Populasi anak putus sekolah juga terkonsentrasi di wilayah pedesaan dan daerah terpencil. Alasan utama untuk putus sekolah berdasarkan jenis kelamin persen Alasan utama untuk putus sekolah berdasarkan jenis kelamin persen Pernikahan Anak Anak perempuan terus terdampak secara tidak proporsional, dengan variasi yang besar di tingkat daerah. Pernikahan dini dan partisipasi sekolah berbanding terbalik, terutama untuk anak perempuan, karena banyak anak yang putus sekolah jika mereka harus menikah. Meskipun angka pernikahan anak di Indonesia telah menurun dalam beberapa tahun terakhir, namun angka tersebut masih tinggi. Studi ini menemukan variasi yang luas di tingkat daerah. Sebagai contoh, Sulawesi Barat memiliki prevalensi pernikahan dini tertinggi pada tahun 2015, di mana 34,2 persen perempuan usia 20-24 tahun yang pernah menikah, telah menikah sebelum mencapai usia 18 tahun. Sebaliknya, Kepulauan Riau memiliki angka yang lebih rendah tetapi masih signifikan yaitu 11,7 persen. Perundungan bullying berdampak pada anak laki-laki dan perempuan secara berbeda Studi ini mengonfirmasi temuan dari studi sebelumnya tentang perundungan di sekolah. Sementara anak laki-laki memiliki risiko yang lebih tinggi mengalami perundungan/ kekerasan fisik, anak perempuan menghadapi kemungkinan lebih besar untuk mengalami kekerasan berbasis seksual dan kekerasan emosional/ psikologis. Di tingkat nasional, meskipun anak perempuan berprestasi lebih baik daripada anak laki-laki di sekolah, namun jumlah perempuan yang bekerja lebih sedikit, mendapatkan penghasilan lebih rendah, dan lebih sedikit mendapatkan kesempatan promosi. Perempuan masih kurang terwakili, baik pada posisi kepemimpinan di lingkup sekolah maupun pemerintahan. Dari hasil wawancara kami mendapati bahwa perempuan lebih jarang dipromosikan dan lebih sedikit mencari kesempatan untuk dipromosikan. Perempuan meraih skor yang lebih rendah dalam proses penawaran promosi, sementara kurang banyak yang dapat berpartisipasi dalam pelatihan untuk meraih posisi eselon yang lebih tinggi, karena kendala waktu dan tanggung jawab di rumah, akibat kurangnya fasilitas penitipan anak yang memadai di kantor-kantor di tingkat kabupaten, provinsi, maupun kementerian. Perempuan dan laki-laki sama-sama mengakui bahwa beberapa posisi memang ditargetkan secara khusus untuk laki-laki dan laki-laki dipandang sebagai pemimpin yang lebih baik. Pada angkatan kerja di bidang pendidikan, laki-laki menduduki sebagian besar posisi manajemen. Di sekolah-sekolah di bawah pengelolaan Kementerian Agama Kemenag dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Kemendikbud, perempuan mewakili lebih dari separuh tenaga kependidikan di tingkat sekolah dasar, menengah pertama, dan menengah atas. Namun, dalam hal mengelola dan memimpin sekolah, data menunjukkan bahwa laki-laki mendominasi peran-peran tersebut. Di tingkat sekolah dasar, perempuan hanya mewakili 31 persen dari kepala sekolah di bawah Kemenag dan 43 persen di sekolah di bawah Kemendikbud, dengan angka yang menurun seiring dengan kenaikan jenjang sekolah. Di sekolah menengah atas di bawah pengelolaan Kemenag, hanya 19 persen posisi kepala sekolah ditempati oleh perempuan, sedangkan di sekolah menengah atas di bawah pengelolaan Kemendikbud hanya 22 persen dari semua kepala sekolah adalah perempuan. Studi kami merekomendasikan sejumlah opsi bagi Indonesia untuk mengatasi masalah ini dan untuk terus memperkuat langkah yang telah dibuat terkait kesetaraan gender dalam pendidikan. Di antaranya termasuk analisis terhadap data daerah untuk mengidentifikasi ketidakseimbangan gender dan mengembangkan solusi yang memungkinkan, penyelenggaraan pelatihan guru yang peka gender, gagasan tentang bagaimana mendorong lebih banyak perempuan menjadi pemimpin sekolah, dan menyediakan fasilitas pengasuhan anak yang memadai bagi pegawai negeri sipil. Anda dapat membaca temuan lengkap dari studi dan rekomendasi kami di sini. Authors SETIAP 8 Maret, dunia memperingati Hari Perempuan Internasional International Women’s Day/IWD. Pada tahun ini, kampanye IWD mengusung tema breakthebias mematahkan bias. Secara spesifik tema tersebut bertujuan mendukung terwujudnya dunia yang bebas dari bias, stereotip, dan diskriminasi. Dunia yang beragam, setara, dan inklusif ketika kesetaraan berbasis pada perayaan akan perbedaan. Bias dalam bahasa Indonesia biasanya dikaitkan dengan simpangan, belokan KBBI Daring. Di dalam konteks bias gender, bias muncul melalui kepercayaan terhadap stereotip individu atau kelompok tertentu berdasarkan jenis kelamin, yang memengaruhi perbedaan perlakuan antara laki-laki dan perempuan. Ada beberapa temuan menarik di dalam laporan Worldbank 2020 mengenai kesetaraan gender di Indonesia. Salah satunya ialah adanya paradoks bahwa meskipun perempuan Indonesia memiliki akses terhadap pendidikan tingkat partisipasi pendidikan tinggi, hal itu tidak berlanjut dengan tingginya partisipasi perempuan dalam kegiatan ekonomi. Artinya, meskipun partisipasi gender dalam pendidikan tinggi, kesetaraan gender belum dicapai sepenuhnya. Laporan tersebut lebih lanjut menjelaskan bahwa hal ini terkait erat dengan norma dan praktik yang berlaku di dalam masyarakat mengenai peran laki-laki dan perempuan sehingga memengaruhi kesempatan perempuan terkait pendidikan, profesi, dan akses terhadap infrastruktur. Beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya kesetaraan gender, di antaranya usia pernikahan yang terlalu dini serta pembagian tanggung jawab mengasuh anak yang tidak seimbang. Laporan tersebut juga menyebutkan faktor struktural seperti banyak perempuan bekerja di sektor informal dan kegiatan ekonomi yang produktivitasnya rendah. Hak setara dalam pendidikan Hal ini menjadikan kesetaraan gender dalam pendidikan menjadi penting. Kesetaraan gender dalam pendidikan dapat dicapai melalui tiga hal, yaitu hak untuk mendapatkan pendidikan right to education, hak dalam proses pendidikan di dalam lingkungan yang mendukung kesetaraan gender right within education, dan hak akan hasil pendidikan yang mendukung pencapaian berkeadilan rights trough education EFA GMR 2003/2004. Hak untuk mendapatkan pendidikan saat ini mungkin sudah mulai dicapai dengan tingginya partisipasi pendidikan oleh perempuan. Namun, banyak yang masih perlu dibenahi terkait hak dalam proses pendidikan. Masih banyak buku teks pelajaran yang belum memberikan contoh dan model yang mendukung kesetaraan gender. Salah satu studi yang dilakukan di Indonesia dan negara muslim lainnya mendapati bahwa meskipun penggambaran perempuan dan laki-laki seimbang jumlahnya, penggambarannya masih bias Assadullah, 2020. Misalnya di dalam buku teks, tokoh perempuan lebih sering digambarkan dan diletakkan dalam konteks kerja-kerja domestik, sedangkan tokoh laki-laki dalam konteks kerja-kerja profesional. Hal ini menjadi indikasi bahwa di dalam proses pendidikan, stereotip gender memunculkan bias gender yang beroperasi melalui standar normatif yang mendorong timbulnya penolakan dan sanksi sosial Heilman, 2012. Stereotip gender terkait profesi laki-laki dan profesi perempuan di dalam buku teks memunculkan bias gender dan norma mengenai pemilihan profesi. Perempuan yang memilih 'profesi maskulin', misalnya, bisa mendapatkan sanksi sosial dan penolakan dari lingkungannya. Hak setara akan hasil pendidikan Adapun untuk mewujudkan hak akan hasil pendidikan yang mendukung pencapaian berkeadilan, pekerjaan rumah kita lebih banyak lagi. Kita masih harus membenahi norma terkait peran perempuan dalam hal-hal berikut; profesi, peran di masyarakat, dan peran di ranah domestik termasuk pengasuhan anak. Selain itu, diperlukan pula perubahan kebijakan yang lebih ramah perempuan terkait dengan peran dan kebutuhan mereka. Contohnya kebijakan yang memudahkan perempuan untuk kembali bekerja setelah jeda mengasuh anak, kebijakan kerja fleksibel yang mengakomodasi kebutuhan domestik, bahkan kebijakan untuk menyediakan pengasuhan anak untuk orangtua yang bekerja. Terkait hal ini, negara Nordik sering menjadi salah satu contoh akan kesetaraan gender yang dianggap berhasil mewujudkan pencapaian berkeadilan. Norma kesetaraan gender secara ekonomi dalam model ini menyebutkan adanya kesetaraan kesempatan pendidikan, kesetaraan gaji sesuai dengan nilai pekerjaan, keseimbangan gender dalam rumah tangga, dan partisipasi gender yang seimbang dalam pasar kerja Teigen & Skjeie, 2017. Artinya, norma yang berlaku dalam relasi di dalam rumah tangga dan di tempat kerja direkonstruksi sedemikian rupa berdasarkan norma-norma di atas, salah satunya melalui proses belajar di sekolah. Salah satu mata pelajaran wajib untuk semua anak di SMP di Finlandia ialah home economics, dulu di Indonesia mungkin disebut dengan pendidikan keterampilan keluarga PKK. Pelajaran ini mencakup semua aspek kegiatan di dalam rumah tangga mulai dari mencuci baju, memasak, hingga membersihkan rumah. Dalam pelajaran ini, siswa laki-laki dan perempuan belajar untuk memiliki peran dan tanggung jawab yang berimbang dalam melakukan tugas-tugas rumah tangga. Selain itu, kebijakan yang dibuat juga mendukung perwujudan dari norma-norma tersebut. Salah satunya adanya kebijakan pendidikan anak usia dini PAUD yang disediakan oleh pemerintah dan dapat diakses oleh seluruh rumah tangga. Di Finlandia, misalnya, orangtua yang bekerja mendapatkan hak untuk menitipkan anak-anaknya di PAUD terdekat. Pemerintah daerah juga menjamin kualitas dan kuantitas PAUD yang ada di wilayah masing-masing dan tidak jarang melakukan kerja sama dengan pihak swasta melalui subsidi. Hal ini menjadikan tingkat partisipasi perempuan dalam kegiatan ekonomi meningkat dan membantu anak-anak untuk bersosialisasi sejak dini. Salah satu rekomendasi di dalam laporan World Bank yang disebutkan di atas ialah menyediakan pelayanan PAUD berbasis komunitas. Di Sekolah Sukma Bangsa Bireuen, Aceh, misalnya, PAUD dikelola bersama oleh pihak sekolah dan koperasi karyawan sejak 2012. Hal itu membantu guru perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan pelayanan pengasuhan bagi anak mereka. Bahkan membantu mereka menjadi orangtua yang senantiasa aktif berinteraksi dengan anak mereka karena lokasi PAUD yang masih di dalam lingkungan sekolah. Saya rasa diperlukan keluwesan dan kemauan dari pihak pengelola sekolah untuk melihat peran perempuan di ranah domestik bukan sebagai saingan, dan peran domestik ini juga tidak selalu melekat kepada perempuan. Dengan demikian, secara perlahan norma-norma yang bias gender mulai dapat diubah dan kesetaraan gender mulai dapat diwujudkan dimulai dari lembaga pendidikan itu sendiri. em> The goals of this research are to analyze family, school, and society area that influence of student gender perception and then to know the different influence factors from it. This research has done in STEI TAZKIA. Generally, even though have the high education but the gender perception is still low. This reality has different with what happened in STEI TAZKIA. STEI TAZKIA students have the high gender perception. Those facts are the good reason to do research in STEI TAZKIA. The results of this research are student gender perceptions do not come from the family area, but student gender perception come from school and society area and there are different results from boy and girl students. The results of this research proofed that the influence boy students gender perception come from school area from their teacher and society area from their friends, different with the girl students that the influence gender perception come from family area from their mother. Specifically, in each aspect, the average score for women was higher than that of men permanence > pervasiveness > personalization > This research is expected to be a reference for related parties to evaluate online learning activities that have been implemented to be more optimalShinta Nasution Dwi SadonoCahyono Tri Wibowop>Demam Berdarah Dengue DBD adalah endemik di daerah tropis seperti di Indonesia dan berisiko pada jatuhnya korban jiwa. Keberhasilan penyuluhan risiko kesehatan perlu didukung bentuk media yang digunakan, khususnya bagi Sismantik Siswa Pemantau Jentik sebagai mitra strategis instansi kesehatan dalam penyuluhan pencegahan penyakit DBD. Pesan visual dalam komik manga dan infografis penting dipertimbangan sebagai media penyuluhan kesehatan bagi anak-anak. Penelitian ini bertujuan untuk 1 menganalisis pengaruh media visual 2 menganalisis perbandingan efektifitas komik manga dan infografis pada Sismantik di Cibinong dan Bojong Gede Bogor. Studi menggunakan true experiment dengan desain faktorial 2 x 2 yang membagi 234 siswa secara acak ke dalam empat kelompok perlakuan yang menerima pesan positif dan negatif dan 57 siswa sebagai kelompok kontrol. Perlakuan media visual terbukti mampu memberikan efek berupa peningkatan pemahaman informasi, persepsi risiko dan sikap Sismantik terhadap pencegahan penyakit DBD dibanding kelompok kontrol. Media visual yang paling efektif untuk meningkatkan persepsi risiko dan sikap adalah komik manga. Namun, perlakuan media visual belum mampu meningkatkan persepsi risiko negatif Sismantik . Kedua media visual memiliki tingkat efektifitas yang sama dalam meningkatkan pemahaman informasi. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis 1 persepsi mahasiswa terhadap kesadaran gender; 2 hubungan antara sosialisasi primer jenis kelamin, agama, suku bangsa, tingkat pendidikan orang tua, orang tua pekerjaan, dan tingkat gaji orang tua, dengan persepsi mahasiswa terhadap kesadaran gender; 3 hubungan antara sosialisasi sekunder daerah tempat tinggal, aktivitas organisasi, interaksi media massa, hubungan dengan teman, kelas gender dan kuliah pengembangan, dan indeks prestasi kumulatif dengan persepsi mahasiswa terhadap kesadaran gender. Sampel dari penelitian ini adalah mahasiswa dari Fakultas Ekologi Manusia, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Penelitian ini dimulai pada Mei sampai Juni 2009 menggunakan jumlah sampel 70 responden. Data dianalisis dengan menggunakan SPSS 14. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1 Persepsi mahasiswa terhadap kesadaran gender yang tinggi 39 responden dan lain-lain 31 responden memiliki tingkat persepsi media mahasiswa pada kesadaran gender; 2 Sosialisasi primer yang memiliki hubungan yang signifikan dengan persepsi mahasiswa terhadap kesadaran gender hanya seks dan yang lain tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan persepsi mahasiswa terhadap kesadaran gender; 3 semua sosialisasi sekunder ruang tamu, aktivitas organisasi, interaksi media massa, hubungan dengan teman, kelas gender dan kuliah pengembangan, dan prestasi indeks kumulatif tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan persepsi mahasiswa pada kesadaran gender Kata kunci Persepsi, kesadaran jender, sosialisasi primer, sosialisasi sekunder, tingkat intelektual

berikan contoh kesadaran gender dalam lingkungan sekolah